Renungan Harian GML : Batu Hidup bagi Gereja
Bacaan Liturgi 28 November 2017
Selasa Pekan Biasa XXXIV
Bacaan Injil
Luk 21:5-11
Tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain.
Ketika itu beberapa orang berbicara tentang Bait Allah
dan mengagumi bangunan yang dihiasi dengan batu indah,
dan berbagai macam barang persembahan.
Tetapi Yesus berkata kepada mereka,
"Akan tiba harinya segala yang kalian lihat di situ diruntuhkan,
dan tidak akan ada satu batu pun
dibiarkan terletak di atas batu yang lain."
Lalu murid-murid bertanya,
"Guru, bilamanakah hal itu akan terjadi?
Dan apakah tandanya, kalau itu akan terjadi?"
Jawab Yesus, "Waspadalah, jangan sampai kalian disesatkan.
Sebab banyak orang akan datang dengan memakai nama-Ku,
dan berkata,
'Akulah Dia' dan 'Saatnya sudah dekat.'
Janganlah kalian mengikuti mereka.
Dan bila kalian mendengar kabar tentang perang dan pemberontakan,
janganlah kalian terkejut.
Sebab semuanya itu harus terjadi dahulu,
tetapi itu tidak berarti kesudahannya akan datang segera."
Kemudian Yesus berkata kepada mereka,
"Bangsa akan bangkit melawan bangsa
dan kerajaan melawan kerajaan.
Akan terjadi gempa bumi yang dahsyat,
dan di berbagai tempat akan ada penyakit sampar dan kelaparan.
Dan akan terjadi juga
hal-hal yang mengejutkan dan tanda-tanda yang dahsyat dari langit."
Renungan
Di Kampung Kush, sekelompok umat Katolik yang tiap hari Minggu merayakan misa di dalam gedung Sekolah Dasar. Mereka belum punya bangunan gereja untuk beribadah. Mereka sudah bertahun-tahun berusaha mendirikan bangunan untuk gereja tetapi tidak pernah berhasil. Tanah sudah mereka miliki. Dana mereka tidak kekurangan. Sumber daya tenaga dan material banyak yang akan menyediakan. Satu-satunya halangan bagi mereka ialah, izin pendirian bangunan tidak pernah mereka dapat. Pernah ada yang mendirikan gereja tanpa mengantongi surat izin. Setelah jadi gereja itu dibakar oleh sekolompok orang yang datang dari luar kampung.
Pada suatu hari Bapa Uskup di wilayah itu datang berkunjung ke Kampung Kush. Umat kemudian menyatakan persoalan yang mereka alami. Seorang umat menyatakan keprihatinan mendalam tentang gereja di Keuskupan. Banyak gereja besar, megah dan indah di tempat lain, tapi di Kampung Kush situasinya sangat memprihatinkan. Tidak ada di Kampung ini bangunan yang disebut gereja.
Bapa Uskup yang mendengar keluhan dan keprihatinan umat tentang bangunan gereja, kemudian mengajak umat membaca Kitab Suci. Ayat-ayat yang dibaca tepat seperti yang dibacakan dalam Liturgi hari ini. Para murid Yesus mengagumi bangunan Bait Allah. Begitu indah dan megahnya Bait Allah itu. Bangunan begitu luas, tinggi, besar dan kokoh perkasa. Bahan bangunannya pun mahal. Dekorasinya sangat mewah dengan batu-batu indah. Juga segala kegiatan ibadahnya begitu ramai dan penuh dengan persembahan-persembahan mulia. Alangkah semuanya itu menjadi tanda kehadiran Allah di tengah dunia.
Bapa Uskup kemudian memberikan wejanganannya dengan kata-kata yang disusun perlahan-lahan. Dia mengatakan bahwa, melihat kemegahan bangunan Bait Allah, Tuhan Yesus menyatakan pandangan yang berbeda yang mengejutkan para murid-Nya. Bagi Yesus, semua kemegahan yang terlihat oleh mata di situ akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain. Semuanya akan diruntuhkan. Kata-kata Yesus itu menjadi kenyataan. Pada tahun 70, tentara Roma dalam komando Jendral Titus, menghancurkan Bait Allah itu. Kehancuran itu begitu dahsyat, rata dengan tanah. Kini bangunan itu tidak ada lagi. Yang masih ada hanyalah pondasinya yang didatangi oleh para peziarah yang meratap di situ. Oleh karena itu tempat itu dikenal dengan nama Tembok Ratapan.
Kemudian Bapa Uskup memberikan peneguhan bahwa Bait Allah yang sesungguhnya bukanlah bangunan fisik. Gereja yang sesungguhnya juga bukan bangunan gedung. Gereja yang sesungguhnya adalah umat Allah yang terdiri dari manusia-manusia. Manusia-manusia yang merupakan umat Allah ini seolah menjadi batu-batu yang hidup. Bila umat hidup rukun, damai, saling membantu, saling memperhatikan; bila umat punya perhatian kepada yang lainnya, terutama pihak yang paling kecil, yang paling hina, yang tersingkirkan; bila umat mengunjugi yang sakit dan menolong yang miskin, maka itulah bangunan Gereja yang sesungguhnya. Batu-batu yang hidup itu tersusun dengan indah dan mengagumkan. Bangunan yang demikian itu tidak dapat dihancurkan oleh siapa pun. Tak ada orang yang mampu meruntuhkan dan membakarnya.
Sudahkah aku menjadi batu hidup yang menyusun Gereja? Beranikah aku menjadi salah satu batu hidup bagi Gereja?
Rm Supriyono Venantius
0 komentar:
Posting Komentar