Renungan harian GML : Mengikuti Yesus dengan Sepenuh Diri"
Saudari-saudara terkasih, kita masuk dalam Hari Minggu ke-13 dalam Tahun A. Bacaan-bacaan pada hari ini menantang kita untuk menilai diri, sejauh manakah kita benar-benar sudah menjadi orang katolik ataupun murid-murid Yesus. Dalam bacaan kedua, Rasul Paulus menegaskan bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya. Baptisan dikenal sebagai sakramen inisiasi. Inisiasi berasal dari kata bahasa Latin, initium, yang berarti masuk atau permulaan, secara harafiah berarti masuk ke dalam. Dalam perlambangan, masuk ke dalam air berarti ikut mati bersama Kristus dan keluar dari air berarti bangkit dan hidup baru bersama Kristus. Pemaknaannya, ketika kita dibaptis, kita dimasukkan ke dalam keanggotaan Kristus. Dari pihak Kristus kita telah ditebus dengan kematian-Nya, dari pihak yang dibaptis ada kemauan untuk hidup baru menurut cara hidup Yesus. Sesudah dibaptis semestinya kita akan hidup menurut cara hidup Yesus.
Bacaan Injil mengajak kita untuk mengevaluasi apakah kita memang sudah hidup menurut Yesus Kristus. Sepertinya ini sangat tidak Indonesia banget. Dari kecil kita diajar untuk mencintai keluarga lebih dari segala sesuatu. Namun bagi murid-murid Yesus, Ia berkata: “Siapa saja yang mengasihi bapa atau ibunya lebih daripada mengasihi Aku, ia tidak layak bagi-Ku. Dan siapa saja yang mengasihi putranya atau putrinya lebih dari mengasihi Aku, ia tidak layak bagi-Ku” (Mat 10:37). Sangat radikal atau Yesus sangat egois? Tapi sebentar, dalam ayat berikutnya Yesus mengatakan: “Barangsiapa menyambut kamu, ia menyambut Aku, …..barangsiapa memberi air sejuk secangkir sajapun kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia murid-Ku, Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ia tidak akan kehilangan upahnya dari padanya.” (Mat 10: 40, 42). Di satu pihak Yesus mengatakan bahwa yang mengasihi keluarga lebih dari mengasihi Yesus tidak layak, di pihak lain yang mau memberi segelas air sejuk saja kepada seorng kecil karena Yesus tidak akan kehilangan upahnya. Kita ingat di tempat lain ada pernyataan Yesus: “jika kamu mencintai orang yang mencintai kamu saja, apalah jasamu?” Dalam pernyataan di atas kiranya Yesus tidak menghendaki supaya kita membuang keluarga untuk mencintai Yesus. Sebaliknya kita diajak untuk menjadikan ikatan kita atau kesatuan kita dengan Yesus untuk menjadi dasar atau semangat dalam membangun relasi dengan keluarga sekalipun. Dalam hal yang baik-baik, efek hal ini tidak terlalu kentara, namun dalam hal yang sulit hal ini menjadi sangat penting. Ketika relasi dengan keluarga terjalin baik tentu tidak ada masalah tetapi ketika ada keadaan yang menantang terjadinya keretakan, sabda Yesus itu menjadi berbicara. Ketika saya merasa sakit hati atas perlakuan salah seorang saudara, dapatkah saya tetap mencintai dia? Secara spontan kita mudah mengatakan: “Saya kan hanya manusia, kesabaran saya terbatas.” Sebagai murid Yesus yang telah dipersatukan dengan Dia di dalam pembaptisan, kita wajib mencintai atas nama Yesus, juga kepada saudara yang menyakitkan hati itu. Aku lebih mencintai Yesus ketika aku melaksanakan perintah Yesus dan bukan karena seorang saudara itu atau karena diriku sendiri. Dalam hal ini perintah Yesus menjadi ukuran apakah kita telah menjadi murid Yesus yang sungguh-sungguh. Di dalam Yesus tidak ada kebencian. Yang ada adalah pengampunan. Karena itu kasihilah musuh-musuhmu, kata Yesus.
Saudari-saudara, bacaan pertama menceritakan bagaimana di dalam Perjanjian Lama, seorang perempuan kaya di Sunem itu menerima berkat keturunan karena ia menghargai yang mampir ke rumahnya sebagai Abdi Allah yang kudus. Yesus dalam Perjanjian Baru mengajak bukan saja menghargai orang yang kelihatan baik, malahan kita diajak untuk membalas kejahatan dengan kebaikan – vince in bono malum. Jelaslah, menjadi murid Yesus kita tidak diajak untuk berbuat baik atau mencintai atas cara yang biasa-biasa saja atau umum-umum saja atau atas cara kodrat manusia saja. Kita diajak untuk melaksanakan hidup kita dalam berbuat baik, dalam mencinta berdasar pada kesatuan kita dengan Kristus. Menghargai setiap orang bahkan yang paling kecil sekalipun, menghargai keragaman dan perbedaan menjadi mungkin di dalam dan bersama dengan Yesus.
Mari kita meneguhkan identitas kita sebagai murid Yesus, mari kita memuliakan Yesus dengan memberi “segelas air sejuk” kepada siapa saja yang kita jumpai bahkan seorang yang paling kecil sekalipun. Amalkan Panca Sila makin adil makin beradab. (rm pur msc)
0 komentar:
Posting Komentar